Friday, February 23, 2007

" Episode menikmati hidup "

Menikmati Episode Hidup

NIKMAT berarti segala sesuatu pemberian atau karunia (dari Allah), diantaranya berupa kesenangan (hidup). Kesenangan hidup merupakan bagian cerita (yang seakan-akan berdiri sendiri) dalam episode hidup manusia. Dan sebagian kita, memandang nikmat hidup itu, hanya berupa kebahagiaan dan kesenangan semata. Padahal, Allah SWT jelas-jelas menegaskan dalam Alquran bahwa sesuatu apapun yang diberikan-Nya itu adalah kenikmatan hidup di dunia (baca: QS. 42:36).

Alangkah kasihan bagi orang-orang yang kurang iman dan ilmu. Sehingga, hari demi hari yang dilalui dalam hidupnya selalu diliputi kesengsaraan yang datang silih berganti. Kecemasan dan kegelisahan merupakan salah satu indikasi hati manusia jauh dari ketentraman -membuat nikmat yang ada tidak lagi dirasakan sebagai nikmat--.

Kita tentu sepakat, kalau dalam hidup ini begitu banyak hal yang tidak diinginkan, tiba-tiba datang menimpa. Permasalahannya, karena kita belum tahu ilmunya, perasaan pun semakin tertekan dan dapat ditebak akan berujung pada penderitaan. Tapi, bagi orang beriman dan tahu ilmunya, tentu hal itu akan diresponya secara bijaksana. Tepatnya, bagi orang beriman setiap episode hidupnya selalu diposisikan untuk ibadah. Yakni apabila memperoleh kebahagiaan, dia bersyukur. Dan bila mendapatkan kesusahan, dia bersabar dan tawakkal, lagi menyempurnakan ikhtiar. Sehingga kedua sikap hidup ini akan menjadikan tambahan pahala bagi mereka yang mampu melakukannya.

Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan setiap episode hidup di dunia ini. Nikmatilah setiap episode hidup bersama Sang Pemilik nikmat dan kehidupan itu sendiri, yaitu Allah Azza wa Jalla. Karena, bagi orang yang mengenal Allah, segala sesuatu kejadian yang menimpa diri hanyalah nikmat yang diberikan oleh-Nya semata.

Fenomena rencana Allah ini menarik untuk kita cermati, kadangkala kita sering marah dan kecewa dengan suatu episode hidup tertentu yang kit alami, namun setelah waktu berlalu ternyata "episode" tersebut begitu menguntungkan dan membawa hikmah yang sangat besar dan sangat bermanfaat, jauh lebih baik dari apa yang diharapkan sebelumnya. Padahal sebelumnya kita menyangka episode hidup yang kita alami tersebut merupakan sebuah musibah.

Alkisah ada dua orang kakak beradik yang tinggal di sebuah dusun di kaki pegunungan yang sejuk di daerah Bandung. Kedua orang kakak beradik ini adalah bekerja sebagai petani dan biasa menjual hasil kebunnya ke pasar yang terletak beberapa jam dari desanya dengan jalan kaki. Salah satu hasil bumi yang biasa mereka jual adalah tape singkong, atau mereka biasa menyebutnya "peuyeum Bandung".

Untuk menjual tapenya ini mereka biasa berangkat dari rumahnya pada pagi hari seusai shalat shubuh. Sebelum sampai ke pasar, mereka harus menyusuri dulu jalan setapak yang melawati persawahan dan perkebunan penduduk, baru mereka lanjutkan dengan naik kendaraan umum bak terbuka yang biasa mengangkut penumpang yang lain ke pasar.

Suatu saat, seperti biasa mereka secara berombongan dengan membawa dua pikulan penuh tape yang akan mereka jual ke pasar. Pagi-pagi sekali mereka berangkat, ketika sampai di tengah pematang sawah yang agak licin tiba-tiba pikulan sang kakak berderak patah. Tak ayal bila pikulan di sebelah kiri masuk ke sawah dan yang di sebelah kanan masuk ke kolam. Betapa kaget, sedih, kesal yang mereka rasakan saat itu. Sepertinya saat itu mereka merasa menjadi orang yang sangat sial. Jualan belum juga dimulai, untung apalagi belum diraih, malah modalpun habis terbenam, dengan penuh kemurungan dan mereka kembali ke rumah. Para pedagang tape yang lain meneruskan perjalanan mereka ke pasar.

Tapi dua jam kemudian datang berita yang mengejutkan, ternyata kendaraan yang biasa ditumpangi para pedangan tape terkena musibah sehingga seluruh penumpangnya cedera bahkan diantaranya ada yang cedera berat, bahkan meninggal. Satu-satunya diantara kelompok pedagang tapi yang senantiasa menggunakan angkutan tersebut yang selamat hanyalah….dirinya, yang tidak jadi berjualan karena pikulannya patah. Subhanallah, dua jam sebelumnya patah pikulan dianggap kesialan besar, dua jam kemudian patah pikulan dianggap keberuntungan luar biasa.

Oleh karena itu, "fa idzaa azamta fa tawaqqal alallah" bulatkan tekad, sempurnakan ikhtiar namun hati harus tetap menyerahkan segala keputusan dan kejadian terbaik kepada Allah SWT. Dan siapkan mental kita untuk menerima apapun yang terbaik menurut ilmu Allah SWT. Inilah saatnya kita menikmati setiap episode apapun yang Allah takdirkan pada diri kita.

Nikmatilah Setiap Episode Hidup Ini

Pastilah setiap manusia yang hidup di dunia ini akan melalui aneka episode hidup yang telah ditetapkan-Nya. Terkadang ada episode yang membahagiakan dan terkadang pula ada episode yang menyedihkan. Dalam hidup ini, keduanya datang silih berganti.
Berikut ini, ada beberapa contoh episode hidup di dunia yang perlu kita sikapi dengan menikmatinya sehingga dapat menjadi tambahan pahala dan insya Allah menjadi ladang ibadah terhadap-Nya.

Menikmati Episode Sakit

Sakit (Marridl) menurut konsep Alquran punya dua dimensi, lahiriah dan bathiniah. Secara penyakit lahiriyah Allah menyinggung dalam firman-Nya: "Tidak ada dasar atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang-orang yang sakit (apabila tidak berperang)." (QS. Al Fath:17). Adapun penyebab penyakit lahiriyah ini ialah karena tidak berfungsinya sel, jaringan maupun organ manusia -baik karena aus atau karena kecelakaan--.

Sedangkan berkait dengan sakit dari sisi bathiniayah, Allah berfirman dalam QS. At Taubah:125, "Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat (Alquran) itu bertambahlah kekafiran mereka, disamping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir."

Sakit bathiniyah ini disebabkan karena tidak berfungsinya hati (qalbun) manusia sebagai lembaga penerima hidayah Allah dalam sistem kejiwaan manusia. Orang sakit hatinya, hidup jauh dari keimanan yang haq, fikir dan rasanya akan menyeleweng dari tuntutan fitrah. Akibatnya, muncullah kontradiksi dalam hidupnya.

Pada tataran demikian, sakit mungkin hal yang menakutkan bagi kita. Sehingga, kita harus berupaya sungguh-sungguh untuk mencegahnya. Di sisi lain, pada saat Allah SWT menurunkan ujian suatu penyakit, terkadang manusia tidak bersabar, bersyukur, dan tawakkal dalam menghadapinya. Dan sebagian manusia ketika ditimpa penyakit biasanya jatuh mengeluh. Fisiknya lemas dan tidak bersemangat. Padahal secara psikologis, semakin banyak mengeluh, semakin terasa penderitaannya. Lebih-lebih ketika hati tidak mau menerima musibah ini (baca: pikiran yang tidak terkuasai dengan baik).

Pikiran yang salah itu, salah satunya karena belum paham terhadap hikmah dari penyakit yang menimpanya, sehingga salah dalam menyikapinya. Hasilnya, kita rugi di dunia dan di akhirat (baca: tidak menikmati episode sakit untuk mengharap pahala dari-Nya).

Padahal, kalau sudah tahu ilmunya tentu kita akan menikmati episode sakit ini. Sebuah hadis riwayat Az-zar mengatakan, "Sesungguhnya seorang mukmin tidak boleh takut sakit karena jika tahu manfaat-manfaat sakit, niscaya dia akan menginginkan sakit, bahkan sampai mati."

Sungguh banyak nikmat dari episode sakit ini. Sebuah hadis riwayat Jabir mengatakan, "Sesungguhnya demam itu menghilangkan dosa-dosa anak Adam sebagaimana halnya alat penghembus membantu menghilangkan kotoran dari besi." Abu Hurairah menambahkan, Nabi Saw bersabda, "Jika Allah SWT berkehendak mencurahkan rahmat pada seseorang, maka Dia akan menjadikan orang itu merasakannya (sakit)." (HR. Bukhari).

Betapa nikmatnya, bila kita telah memahami hikmahnya, maka ternyata sakit itu adalah suatu takdir yang sangat menguntungkan karena akan menggugurkan dosa-dosa kita. Bukankah setiap saat kita ketika berdoa selalu merindukan ampunan-Nya? Sakit itulah, salah satu bentuk pengabulan keinginan kita tersebut.

Nabi Saw bersabda, "Ketika seseorang ditimpa penderitaan (sakit), maka Allah mengutus dua orang malaikat kepadanya. Dia berfirman, 'Dengarkanlah apa kata hamba-Ku ketika ditengok orang-orang.' Jika ia megucapkan Alhamdulillah, maka Allah berfirman kepada dua malaikat tersebut. 'Sampaikanlah kepadanya, maka pasti masuk surga, dan jika ia Aku sembuhkan, maka pasti daging dan darahnya diganti dengan yang lebih baik daripada asalnya, serta kujadikan penderitaan (penyakitnya) sebagai penembus dosanya.'" (HR. Al Faqih).

Dalam bagian lain, Rasulullah bersabda, "Rintihan orang yang sakit ditulis sebagai tasbih, jeritannya sebagai tahlil, bernafasnya sebagai sedekah, tidurnya adalah ibadah, dan berbolak-baliknya ketika tidur seperti perang sabil. Dan ditulis pula baginya sebaik-baik amal yang biasanya ia lakukan di waktu sehatnya."

Lebih jauh dari itu, hikmah sakit dapat dijadikan sebagai ladang tafakkur. Dengan sakit, kita dapat terhindar dari kemaksiatan -yang kemungkinan dilakukan jika kita sehat--. Dan kita menginsafi, betapa mahalnya nikmat hidup sehat. Selain itu, sakitpun ternyata menjadi jalan rezeki bagi yang menolongnya, yang sekaligus menjadi ladang amal saleh bila mereka ikhlas.

Jadi, atas dasar itulah, kita hendaknya menikmati episode sakit dalam hidup di dunia ini. Namun demikian, bukan berarti, lantas kita sama sekali mengabaikan ikhtiar mengobati penyakitnya. Rasulullah bersabda, "Berobatlah wahai hamba Allah!" Dalam hadis lain disebutan, "Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan tiap-tiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah!" (HR. Abu Daud).

Menikmati Episode Menunggu Jodoh

Jodoh berarti pasangan hidup manusia yang sepadan; cocok; serasi; sesuai benar; kena benar; atau setuju (hatinya dsb). Berkait dengan ini, Allah berfirman dalam QS. Ar Ruum: 21, "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan bagi kamu pasangan dari jenis kamu sendiri agar kamu sakinah bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi kamu yang berpikir."

Ayat di atas, mengajarkan kita agar berpikir, termasuk dalam menentukan pasangan (baca: jodoh). Di sini, ada makna rentang waktu antara menunggu jodoh dengan membangun keluarga sakinah bersama pasangan kita kelak. Menunggu jodoh ialah menantikan; mengharapkan (sesuatu yang mesti datang atau terjadi) terhadap pasangan hidup kita. Jadi, menunggu jodoh bukan berarti menunda jodoh untuk terlaksananya perkawinan.

Tiap orang berbeda kesempatannya dalam mendapatkan takdir Allah yang satu ini. Ada yang dimudahkan dan adapula yang perlu kesabaran lebih untuk sampai pada ketentuannya ini. Ada yang ketika usia belasan tahun sudah mendapatkan pasangan dan adapula yang ketika sudah cukup umur pun belum jua mendapat pasangan hidupnya.

Dalam proses menunggu ini, terkadang jika kita tidak sabar dan yakin akan janji dan jaminan Allah bahwa setiap manusia di dunia ini ada pasangannya, maka keluh kesah seringkali muncul, bahkan adapula yang mengutuk dan menggugat akan kemahadilan Allah. Apalagi sampai berbuat maksiat karena kebodohannya ini.

Padahal seharusnya kita dapat menikmati episode menunggu jodoh ini sebagai ladang amal mempersiapkan membangun keluarga sakinah, sambil menunggu pasangan hidup kita. Pertanyaannya, apa saja yang perlu kita nikmati dalam menunggu jodoh itu?

Betapa banyaknya, dikalangan Muslim dan Muslimah yang tidak maksimal menikmati menunggu jodoh dengan tidak melakukan hal-hal yang dapat mendukung dalam pembangunan keluarga sakinah yang akan dibentuknya dikemudian hari. Padahal, begitu banyaknya sisi-sisi keilmuan dan keteladanan yang perlu disusun membentuk bongkahan benteng yang siap menghadang serbuan virus-virus penyebar kebusukan dalam ikatan keluarga kita.

Episode menunggu jodoh, juga bukan berarti kita dengan seenaknya menikmati masa-masa itu dengan tergelincir dan tergoda oleh nafsu yang ada dalam dirinya, sehingga melanggar atau menjauh dari syariat yang diwajibkan-Nya. Yakni, pria maupun wanita hendaknya melalui episode menunggu jodoh -masa remajanya-dengan selalu waspada terhadap segala goda dan ujian setan. Rasulullah bersabda, "Wahai pemuda, barangsiapa diantara kamu sanggup membayar mas kawin dan memberi nafkah, hendaklah kawin, karena perkawinan dapat memelihara dirimu. Pemuda yang tidak sanggup kawin hendaklah berpuasa. Puasa itu dapat mematahkan syahwatnya." (HR. Bukhari).

Dalam hal ini, al-Hasan bin Ali ra. memberitakan suatu ketika, seorang laki-laki berkata kepada cucu Nabi ini, "Saya mempunyai seorang putri. Jika ada yang berniat menikahinya, saya akan nikahkan dia."

Maka al-Hasan berkata, "Nikahkan putrimu dengan laki-laki yang bertakwa kepada Allah SWT. Jika ia menyukai putrimu, ia pasti akan memuliakannya. Jika ia sedang marah, ia tidak akan menzalimi putrimu."

Sungguh nikmatnya, bila kita memiliki kebersihan ruhiah dengan ketakwaan kepada-Nya, sikapnya akan tetap terkendali oleh ketakwaannya. Artinya, bila ia menyukai istri/suaminya, kecintaannya itu melahirkan sikap memuliakan.

Pada tataran demikian, kita sudah selayaknya menikmati episode menunggu jodoh dengan hal-hal yang mengantarkan pada terwujudnya keluarga sakinah. Sungguh ini sama sekali bukan kerugian, bukankah Allah telah berfirman, "Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) …." (QS. An Nuur: 26). Siapkanlah diri kita agar dijodohkan Allah.

Menikmati Episode Mencari Kerja

Mencari kerja, berarti perbuatan melakukan sesuatu; sesuatu yang dilakukan (diperbuat) dalam berusaha supaya mendapat (beroleh, mengetemukan dsb) pekerjaan.
Menikmati episode mencari kerja, dimaksudkan sebagai keaktifan kita dalam mengisi episode hidup ini sebelum mendapat pekerjaan yang menjadi cita-cita kita. Artinya, kita tidak hanya mnyebarkan berbagai lamaran pekerjaan, dan setelah itu kita tidak melakukan kerja lainnya dalam menunggu hal itu. Singkatnya, ia bukanlah sosok pengangguran.

Pada kondisi seperti itu, aktivitas kita dalam menikmati episode mencari kerja ini, hendaknya tidak lain harus tetap melakukan kerja. Yakni kerja yang didasari atas kenikmatan bahwa kerja adalah mulia, tidak bekerja adalah hina.

Dalam hal ini, Nabi Saw telah merubah pandangan dunia, bahwa kemuliaan bukanlah terletak pada kebangsawanan darah, tidak pula pada jabatan yang tinggi, atau uang yang banyak. Tetapi, kemuliaan adalah pada pekerjaan. Siapa yang bekerja, meskipun apa saja jenis usahanya (baca: asalkan halal), adalah suatu kehormatan.

Begitu pula sebaliknya, kehinaan bukanlah karena macam pekerjaan yang kita lakukan (misalnya menjadi kuli, pedagang, dll), karena semuanya itu adalah bekerja, dan ia adalah simbol kemuliaan. Adapun kehinaan ialah tidak bekerja, bermalas-malasan, menganggur, menghabiskan waktu dengan hal-hal sia-sia dan merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Potongan kisah berikut ini, kiranya dapat menunjukkan kepada kita bahwa seorang yang bekerja itu memiliki martabat dan meraih kemuliaan. Kisahnya, pada suatu hari kaum Hawariyyun -murid Nabi Isa as-berkata kepada Nabi Isa, "Wahai Ruhullah, kami lapar."
Nabi Isa kemudian mengusap tanah di depannya. Tanah itu dalam sekejap berubah menjadi potongan-potongan roti. Maka, mereka memakan roti itu dengan lahapnya. Dan masing-masing mendapat dua potong.

Tak lama kemudian, mereka berkata lagi, "Wahai Ruhullah, kami haus."
Nabi Isa seperti tadi, mengusap tanah didepannya yang dalam sekejap mengeluarkan air. Lalu, mereka pun segera meminum dengan nikmatnya.

Dalam keadaan kenyang dan gembira ria itu, salah seorang dari mereka berkata kepada kawan-kawannya, "Siapakah di dunia ini orang yang lebih mulia daripada kita? Ketika lapar, kita diberi makan. Ketika haus, kita diberi minum."

Kawan-kawannya tentu saja menggangguk tanda setuju. Tapi Nabi Isa kemudian menjawab dengan satu kalimat yang membuat mereka malu. "Orang yang paling mulia di dunia ini adalah mereka yang makan dan minum dengan hasil kerja sendiri."

Lebih dari itu, Nabi Saw pernah mengatakan bekerja ini sama dengan berjuang dijalan Allah. Suatu pagi Rasulullah duduk bersama para sahabatnya. Saat itu, mereka melihat seorang pemuda berbadan tegap dan kekar sedang berjalan. Seorang diantara mereka berkata sinis, "Huh…, pemuda apa itu! Alangkah baiknya kalau kemudaan dan kekuatan tubuhnya itu diabadikan dalam perjuangan di jalan Allah, yaitu berperang."
Mendengar itu, Nabi menyahut, "Janganlah kalian berkata begitu! Kalau ia pergi hendak bekerja (berusaha) untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri agar tidak tergantung pada orang lain, itu sudah merupakan perjuangan di jalan Allah. Kalau ia berusaha mencukupi penghidupan ayah ibunya yang sudah lemah, atau memberi nafkah kepada keluarganya agar mereka tidak meminta-minta belas kasihan orang lain, itu pun sudah merupakan perjuangan di jalan Allah!"

Dari kisah tersebut, setidaknya telah menyadarkan kita bahwa dalam menikmati episode hidup mencari kerja, maka kita perlu melakukan kerja setiap hari. Bukankah, Allah sendiri dalam memberi rezeki kepada setiap manusia itu sesuai dengan yang kita usahakan? (baca: QS. 53:39).

Untuk itu, janganlah atas nama sedang mencari kerja, lantas kita terus-terusan berpangku tangan pada orang lain. Hal ini, tentu bukan suatu perbuatan mulia. Bukankah, kita sebagai manusia hanya mampu berusaha -ikhtiar-dan hanya Allah SWT yang akan menentukan nasib kita (baca: termasuk dengan pekerjaan kita)? Sehingga sudah selayaknya kita nikmati episode mencari kerja ini dengan melakukan sebanyak-banyaknya kerja. Hal ini dimaksudkan agar dapat memunculkan potensi kerja yang tepat bagi kita. Bahkan, bila perlu merubah paradigma kita, dari paradigma mencari kerja ke paradigma mencipta lapangan kerja. Nabi Saw dalam sabdanya mengingatkan kita bahwa, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kamu berusaha maka oleh sebab itu hendaklah kamu rajin berusaha.(HR. At Thabrany).

Menikmati Episode Jadi Bawahan

Bawahan, diartikan sebagai orang (pegawai) rendahan; orang yang dibawah perintah. Jadi, setiap kita pada dasarnya adalah sebagai bawahan. Penggalan kisah berikut, kiranya dapat mendukung hal ini. Yakni Abu Muslim Al Khaulani pernah menghadap Mu'awiyah dan berkata kepadanya: "Assalamu'alaikum, wahai karyawan." Orang-orang di sekitar Mu'awiyah menyangkalnya: "Katakan kepada beliau, 'Wahai Amir (kepala negara)'"

Namun, untuk kedua dan ketiga kalinya Abu Muslim masih tetap mengulang ucapan salamnya seperti semula. Baru setelah itu ia menjelaskan kepada Mu'awiyah: "Sesungguhnya Anda (Amirul Mu'minin) adalah seorang karyawan -bawahan--, Tuhan pemilik umat ini telah memperkejakan Anda. Jika Anda dapat mengobati penyakit umat secara total, maka Tuhan Anda menjanjikan upah bagi Anda, namun jika Anda tidak melaksanakannya, maka Dia akan menyiksa Anda.

Sehingga, bagaimana sebaiknya kita harus berperilaku dalam menikmati episode jadi bawahan dalam kehidupan ini. Yakni kehidupan yang selalu berada dibawah koridor perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla. Termasuk didalamnya, berupa aktualisasi menjadi bawahan dalam hubungan suatu pekerjaan amaliyah sesama manusia.

Setiap kita -orang beriman--, sudah seharusnya selalu menikmati episode jadi bawahan ini sebagai sesuatu yang insya Allah merupakan amal saleh. Sehingga kita harus menyempurnakan setiap tanggung jawab dan kewajibannya secara ikhlas hanya mengharap ridha-Nya. Dan balasan dari amal saleh yang dilakukan oleh orang-orang beriman ini, cukup fantastis, yaitu berkuasa di bumi. Allah berfirman dalam QS.An Nuur: 55, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sesungguhnya akan menjadikan mereka berkuasa di bumi …."

Dari sini, tugas kita dalam menikmati episode jadi bawahan ialah menyempurnakan ikhitar terhadap perintah-perintah yang dibebankan kepada kita. Lagian, bukankah Allah akan membalas setiap apa yang diperbuat makhluk-Nya. Hal ini seperti yang dijanjikan-Nya dalam QS Al Ahqaaf: 19, "Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan." Dalam hal ini, bila kita tulus melakukannya (baca: bening hati), maka hasilnya justru akan mengundang banyak kenikmatan. Betapa tidak? Sebagai contoh, betapa nikmatnya mendapat (ilmu) perbaikan, jika kita khilaf dalam melakukan perintah dari atasan kita; bagaimana kita dapat memperoleh ilmu cara memimpin yang baik dari hubungan antara atasan dan bawahan ini; dan berbagai keuntungan lainnya.

Kisah yang terjadi pada masa Umar bin Khattab berikut ini, membuktikan betapa kita harus menikmati jadi bawahan dengan mempersiapkannya dengan fisik kuat dan sifat dapat dipercaya. Kisahnya, suatu waktu, Umar bin Khattab pernah mempekerjakan Abdullah bin Qais di pantai-pantai, sementara beliau tidak melibatkan tenaga Syarhabil untuk pekerjaan ini. Syarhabil bertanya: "Adakah suatu kemarahan yang menyebabkan engkau tidak lagi membutuhkan tenagaku, wahai Amirul Mukminin?" Umar menjawab: "Tidak, sesungguhnya aku mencintai kamu berdua, akan tetapi aku menginginkan seorang laki-laki yang lebih kuat." Syarhabil menjawab: "Kalau begitu, izinkan kami menjelaskannya kepada semua orang agar tidak ada suara-suara negatif terhadap kami." Umar segera bangkit dan memberitahukan kepada mereka: "Wahai sekalian orang. Demi Allah, sesungguhnya saya tidak menggunakan tenaga Syarhabil bukan karena suatu kemarahan, melainkan kami menginginkan seseorang yang lebih kuat daripadanya."

Menikmati Episode Belum Punya Rumah

Rumah merupakan kebutuhan pokok manusia, di samping kebutuhan pangan dan sandang. Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat berlindung dari pengaruh angin, hujan, panas dan sebagai tempat istirahat untuk melepaskan lelah setelah melakukan kegiatan sehari-hari.

Lebih dari itu, Islam memandang rumah sebagai sesuatu yang sangat urgent dalam membentuk suatu keluarga sakinah. Tepatnya, selain sebagai tempat tinggal, rumah juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan rohani manusia. Misalnya sebagai tempat sembahyang, mengingat ayat-ayat Allah dan sebagai sarana taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Dalam tataran ini, posisi rumah yang sering ditempati manusia, memiliki dua kedudukan. Yaitu ada rumah milik sendiri dan ada rumah milik orang lain yng kita tempati dengan membayar sejumlah uang sebagai konsekuensinya (baca: belum punya rumah/kontrak /kost). Dan pada umumnya setiap rumah tangga baru, ia tinggal di rumah milik orang lain.

Berkait dengan yang terakhir (belum punya rumah), bukan berarti kita tidak harus menikmati hidup ini. Tapi, justru Allah SWT tidak membedakan nikmat hidup ini atas posisi kepemilikan rumah. Karena rumah hanyalah salah satu sarana ibadah yang perlu dinikmati dalam hidup ini. Artinya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang-Nya, maka kita harus dapat membangun suatu kenikmatan di dalam rumah. Yaitu menikmati membangun akhlakul karimah terhadap anggota keluarga.

Berkait dengan rumah yang diserahkan kepada kita untuk mengurusnya, Allah SWT menginformasikan dalam QS. An Nuur: 61, "Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri atau di rumah bapak-bapakmu, di rumah ibu-ibumu, di rumah saudara-saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, di rumah saudara bapakmu yang laki-laki, di rumah saudara bapakmu yang perempuaan, di rumah saudara ibumu yang perempuan, di rumah saudara ibumu yang laki-laki, di rumah yang kamu miliki kuncinya -rumah yang diserahkan kepada kamu mengurusnya- atau di rumah kawan-kawanmu. …."

Secara demikian, kita harus menjadikan rumah yang kita tempati adalah sesuatu yang mendatangkan nikmat Allah dan mnyenangkan serta berada dalam ridha-Nya. Itulah berupa harapan menjadikan rumah sebagai surga bagi penghuninya. Dalam arti lain, di sinilah perlunya kita menikmati episode hidup belum punya rumah.

Nikmat yang perlu kita sebarkan di dalam rumah tidak lain adalah setiap apa yang ada di rumah dapat mengingatkan penghuninya kepada Sang Pemilik rumah yang sesungguhnya, yaitu Allah Azza wa Jalla. Caranya seperti yang diperintahkan Allah dalam QS. Yunus: 87, "…. dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat bersembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang yang beriman."

Selain itu, rumah juga bagi keluarga muslim merupakan tempat membangun kepribadian dan akhlak mulia bagi para penghuninya. Dan di rumah dilarang berhias/bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah (baca: QS. Al Ahzab: 33). Selanjutnya dalam menikmati episode belum punya rumah ini, kita juga harus hati-hati dalam menggunakan segala fasilitas rumah. Yaitu jangan sampai rumah kita diselimuti perbuatan makar (tipu muslihat) dan zalim terhadap orang lain, karena hal ini akan dibinasakan Allah (baca: QS. An Naml: 51-52). Dan kita pun dilarang untuk lebih mencintai rumah daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad dijalan-Nya (baca: QS. At Taubaah: 24).

Untuk itu, kita berdoa, "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim."

Akhirnya, kita harus sadar betul bahwa sesuatu apa pun yang diberikan kepada manusia adalah kenikmatan hidup di dunia. Dan hanya dengan bekal ilmu dan keimanan kepada Allah semata, yang dapat merasakan nikmatnya hidup (beribadah) terhadap-Nya. Yakni bukan hanya nikmat dalam menjalani setiap episode hidup di dunia, tapi insya Allah berbekal kesepurnaan ikhtiar dan ketawakkalan, maka kita dapat meraih kenikmatan yang sebenarnya di akhirat kelak. Amin. Wallahu'alam.

http://www.honda-tiger.or.id/forum/showthread.php?t=17177

No comments: