Thursday, March 02, 2006

Bila Mati Mengintai


Ada yang terus mengintaiku, mengikuti gerak langkahku setiap saat,
menungguku untuk sebuah pertemuan yang dinanti. Dia selalu mengawasiku
setiap waktu. Jika aku berada di depan, maka dia pasti ada di belakangku.
Jika aku berada di samping kanan, maka dia berada di samping kiriku. Jika
aku di atas, dia pasti ada di bawah. Siapakah gerangan?

Dialah "Kematian", "kematian" banyak hal yang melintasi pikiranku saat aku
menyebutnya. Semua pasti akan mati, semua pasti akan mengalami sekarat,
dan semua yang hidup pasti akan bertemu dengannya tak dapat kusanggah.
Saat menjelang kematian dalam kehidupan manusia terdahulu adalah saat yang
pasti aku lalui juga.

Demi Allah, dia pasti akan datang kepadaku. Demi Allah dia pasti akan
menegukku. Sama seperti raja-raja di istana megah itu, seperti
pemimpin–pemimpin bangsa di masa lalu. Seperti orang-orang kaya yang
setiap harinya kelihatan "bahagia" (jika mereka mati, masihkah
"bahagia"?), atau mereka yang fakir yang setiap harinya bergumul dalam
penderitaan, atau orang-orang miskin yang terus meratapi segala
kekurangannya, atau para hamba sahaya yang tiada sekejap pun orang
memandangnya. Mereka semua telah merasakan kematian. Mereka semua telah
bertemu dengan kematian.

Bila mati, bila manusia mati, maka sudah tak ada lagi yang bisa
dibangga-banggakan. Seorang yang cerdik sekalipun, kecerdikannya tak akan
bisa melarikan dirinya dari peristiwa kematian. Bila mati, maka semua
strategi para ilmuwan dan tokoh jenius itu pasti akan patah. Bila mati,
semua kekuatan orang-orang yang berkuasa itu akan binasa. Bila mati,
bangunan yang tinggi menjulang, istana-istana megah dunia, atau gedung
pencakar langit yang kokoh akan runtuh seketika. Kematian juga yang telah
meruntuhkan bangunan orang-orang kaya itu.

Suatu kali aku bertanya pada diriku sendiri, bila mati, bagaimana bila aku
mati ? Ah… Selama ini aku memang tidak tahu kapan dia akan datang bertamu,
karena dia tidak pernah membuat janji sebelumnya denganku. Namun,
bagaimana kalau dia tanpa diduga tiba-tiba datang kepadaku? Menegukku,
membuatku sekarat? Bagaimana?

Bila mati, bila aku mati, itu berarti aku harus rela ditinggal sendiri.
Ibu, bapak, saudara-saudaraku, mereka semua pergi. Sahabat-sahabat dekat
yang selama ini menjadi tempat curahan hati, tetangga-tetangga yang suka
mengantarkan makanannya kepadaku, mereka hanya berlalu dan pergi
meninggalkanku. Apalagi hasil jerih payahku mengais rezeki hari demi hari
sekeping pun tak dapat menolongku lagi. Apa yang terjadi? Saat itu aku
pasti akan sendirian, dalam gelap gulita diselimuti sepi, mencekam, mati.

Bila mati, yang ada dalam gambaranku adalah suatu peristiwa yang amat
penting bagi yang hidup. Aku tidak tahu bagaimana rasanya bila nanti
seolah-olah ada sebuah gunung yang kokoh lagi menjulang tinggi berada di
atas dadaku, menahanku, menghilangkan kesempatanku untuk menghirup udara
dunia, mungkin jika bisa, itu pun seakan-akan aku bernafas di sebuah
lubang jarum. Bernafas di sebuah lubang jarum? Pergulatan macam apa itu?
Atau seumpama aku sedang dipukuli dengan sebuah dahan pohon yang penuh
duri lagi tajam, kemudian duri-duri itu menancap di semua urat-uratku.
Lantas, lantas dahan tersebut ditarik, sehingga setiap urat dalam tubuhku
juga ikut tertarik, menyisakan kepedihan dan sakit yang luar biasa. Demi
Allah, apakah nanti lebih perih dari yang sekedar aku bayangkan?

Bila mati, bila aku mati, maka akan ada sesuatu yang menampakkan wajahnya
padaku. Dialah Izrail, Sang Malaikat Maut yang akan turun dari penjuru
langit untuk menjemputku. Namun, apakah nanti dia akan menampakkan rupanya
dengan wajah penuh keramahan dan kehangatan ataukah sebaliknya? Bisa jadi
nanti dia datang dengan wajah garang tanpa belas kasihan. Bagaimana nanti?
Ketika dadaku menyempit, nafasku tersengal-sengal, sampai ke tenggorokan,
tubuhku kaku sulit digerakkan. Saat itulah dia menunaikan tugasnya,
memisahkan ruh dan jasadku. Menuntaskan episode akhir dari sebuah
perjalanan hidupku di dunia ini. Itu pasti akan terjadi, nanti, bila aku
mati.

Kemudian, bila mati, bila aku mati, orang-orang akan membaringkanku,
memandikanku, menshalatiku, mengkafani tubuhku yang kaku, menggotongku dan
menimbunkanku di dalam sebuah ruang sempit, gelap, senyap dan sunyi.
Detik-detik saat aku dibaringkan dalam liang kubur itulah yang akan
menjadi awal babak baruku menuju fase berikutnya setelah kematian, yakni
mengarungi alam kubur. Tak ada pagi, siang ataupun malam hari, karena
semuanya sama jika sudah masuk ke dalam, terpendam berkalang tanah. Oh...
Adakah tempat yang lebih jauh dari tempat itu? Adakah? Adakah tempat yang
lebih sunyi? Adakah? Gelapkah, pasti tidak ada kegelapan yang lebih gelap
dari tempat itu. Semua kelezatan yang pernah aku rasakan ketika aku hidup,
mungkinkah akan berganti menjadi rasa pahit yang luar biasa?

Siapa yang akan peduli jika aku tercekam ketakutan? Siapa? Gelap… Gelap…
Adakah cahaya? Adakah? Siapa yang akan memberikan aku cahaya untuk
menerangi kegelapanku di sana? Siapa? Tiadakah aku punya sesuatu yang
berarti? Apakah amalku, amalku yang sedikit tersisa nanti akan mampu
menolongku, menemani dalam kesendirianku disana?

Bila mati, bila aku mati, oh… aku ini memang bukan seorang 'alim yang
pasti airmatanya meleleh jika membayangkan malam pertama di dalam kubur,
bukan pula seorang ahli hikmah yang mengeluhkan pedihnya dijerat kematian,
atau seorang penyair yang menerjemahkan tangisannya dalam bait-bait
kematian penggugah keharuan. Aku hanya manusia biasa, terlalu biasa untuk
mengingat kematian. Aku masih tenggelam dalam carut marut dunia yang
aslinya fana ini. Terlalu sedikit waktuku untuk mengingatnya, apakah
memang waktunya yang sedikit ataukah dunia ini yang membuatku sedikit
untuk mengingatnya?

Mati, bila mati, bila aku mati, saat ini aku memang belum mati. Tapi
seharusnya aku tidak boleh takut mati. Karena, setiap yang berjiwa pasti
akan merasakan mati. Semestinya aku harus mengingatnya setiap hari,
berbenah diri, memelihara waktuku, usia kehidupanku sekarang dan melakukan
persiapan yang baik untuk kedatangannya. Ah… Dia memang tidak pernah
membuat janji padaku sebelumnya. Namun, mungkin saja dia akan datang pada
saat-saat dimana aku tidak menduga sama sekali.

Dia masih memperhatikanku…
Terus mengintaiku…
Mengawasi gerak-gerikku…
Menungguku…
Untuk sebuah waktu yang telah ditentukan…

"Ya Allah, Yang Maha Mematikan, perbaikilah agamaku yang merupakan penjaga
urusanku, perbaikilah duniaku yang merupakan tempat hidupku, perbaikilah
akhiratku yang merupakan tempat kembaliku. Dan jadikanlah kehidupanku
sebagai penambah kebaikan bagiku, serta jadikan "KEMATIANKU" sebagai
istirahatku dari segala keburukan.

"Allaahumma a'inni 'ala sakaraatil mauut…
Allaahumma hawwin 'alayya sakaraatil mauut…
Laa ilaaha illallaah inna lilmauti la sakaraati…"

"Ya Allah, bantulah aku dalam menghadapi sakaratul maut.
Ya Allah, mudahkanlah sakaratul maut padaku.
Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.
Sesungguhnya kematian itu memiliki saat-saat sekarat."

Thanks to Kota Santri

No comments: